Kamis, 19 November 2009

Judul Artikel: Visi Keberagamaan, Sekarang dan Masa Depan Topik: Agama

Artikel:

VISI KEBERAGAMAN, SEKARANG DAN MASA DEPAN
(Oleh: Nurdin Somantri*)

Fakta Sejarah : Bangsa Indonesia ramah ?
Saya awali naskah renungan ini dengan pertanyaan, ramahkah kita ini ? Pertanyaan itu muncul ketika saya berfikir dan merasakan kehidupan bangsa kita akhir-akhir ini. Penuh gejolak kerusuhan antara agama dan etnis yang terlepas dari apakah itu berupa akibat konstelasi kehidupan perpolitikan bangsa kita, ataukah karena pengaruh eksternal yang lebih luas: krisis identitas diri karena dampak globalisasi, informasi mondial, atau cultural shock. Saya sangat terkejut ketika membaca kefrustasian seorang sosiolog bahwa kita ini bangsa inlander, bangsa yang dendam akibat penjajahan.

Melihat Sejarah khususnya sejarah Jawa, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam nuansa kehidupan kekuasaan Jawa, masyarakat Jawa tak pernah lepas dari hiruk-pikuk pertikaian kekuasaan antara satu dinasti ke dinasti lain, lepas dari apakah itu memang strategi Belanda atau memang orang Jawa secara inheren senang akan pertikaian demi mempertahankan status quo. Yang jelas sejarah mencatat sekian ribu barel darah telah tumpah untuk sampai bangsa kita ke keadaan sekarang ini.

Apakah kekerasan sekarang ini identik dengan apa yang telah terjadi dulu ? Perlu kajian mendalam atas masalah itu. Yang jelas sekarang ini hampir tiap hari kita dininabobokan oleh program-program TV menarik yang penuh dengan violent actions, dan itu sudah masuk menjadi bagian activitas sehari-hari dari generasi muda yang kita punyai sekarang. Mereka bukan lagi generasi si Unyil, tetapi generasi mighty power ranger. Dalam film si Unyil kita masih diajarkan moralitas, baik buruk dan konsekuensi-konsekuensi, tetapi dalam yang terakhir nuansa itu hampir tak ada.

Ajaran Agama : Diajarkankah kekerasan ?
Sejarah Islam mencatat bahwa Muhammad SAW memilih perang jika dan hanya jika penyelesaian damai memang sudah tidak mungkin lagi. Ini simbul bahwa kekerasan adalah jalan terakhir. Disitulah nampak keanggunan Islam sebagai ajaran yang universal. Islam melihat agama lain sebagai imbangan moralitas manusia, maksudnya jika anda muslim, entah karena keturunan atau karena keinginan kita untuk menjadi muslim, anda dibawa oleh nabi untuk melihat bahwa penganut agama lain adalah kakak-adik kita.

Bagaimanapun Islam tidak lupa akan sejarah. Ia agama yang melengkapi agama yang sudah ada. Tetapi ketika dihadapkan pada peran misinya sebagai agama dunia ia tidak lupa untuk terus berpijak pada sejarah keramahannya. Masih ingatkah kita ketika nabi mengajak pamannya yang dicintainya (Abu Thalib) agar segera masuk Islam sampai-sampai ketika pamannya itu hampir wafat? Nabi ditegur Tuhan karena terperosok dalam kesedihan karena keteguhan pamannya itu. Ini bisa berarti, bahwa dimasa depan, yang begitulah fenomena manusia, ada yang bisa terbuka akan Islam, ada yang tidak. Kepada yang bisa, binalah keislamannya, bagi yang tidak, jangan pernah engkau memaksanya. Jangan pernah kita terjebak pada nominalitas agama, tetapi harusnya kita berpijak pada keuniversalitasan Islam itu sendiri. Jika memang kekerasan hanya diajarkan sebagai jalan terakhir, maka mengapa kekerasan sekarang menjadi bagian hidup kita? Sakitkah bangsa kita?

Ini kajian psikologis. Mari kita cek dari segi agama. Adakah pola yang salah dalam pengajaran dan penyebaran agama selama ini? Kita masih melihat ada orang yang begitu marah melihat ada acara agama lain di TV, pada saat yang sama ia lupa bahwa TV itu sendiri bukan orang Islam yang mengembangkannya tetapi bangsa penganut agama lain. Saya masih sering mendengar ada khotib yang mencerca agama lain, di sisi lain ia lupa bahwa apa yang ia pakai, gaya hidup yang ia terapkan sehari-hari adalah gaya hidup yang diakomodir dari penganut agama lain. Jadinya serba ironis, kesadaran historis begitu rendahnya, sampai-sampai mempermalukan dirinya sendiri. Apa yang terjadi dalam penyebaran agama? Mungkinkah kita terlalu berat sebelah pada normatifitas agama tersebut tanpa memperhatikan historisitasnya?

Bagi ummat Islam, kita ingin hukum Islam ditegakkan, tetapi berpijaklah pada realitas bahwa Islam disebarkan di negeri ini berbeda dengan yang dikembangkan di timur tengah sana. Untuk mengerti perlu waktu dan proses. Cepat atau lambat, proses Islamisasi perlu waktu. Ada proses yang harus dilalui, dan itu sangat tergantung pada waktu dan kondisi. Proses tersebut belum selesai. Hanya dengan strategi yang penuh kasih sayang, seperti halnya Islam itu sendiri yang rahmatan lil ‘alamiin, Islamisasi itu akan berjalan damai dan mewujud pada peradaban yang akan terbentuk nantinya. Sebuah masyarakat madani, dimana kita hidup dengan suka cita, bersisian dengan umat yang diijinkan Tuhan untuk menghirup udara dunia ini.

Solusi: Beberapa Konsep

    1. Harus ada strategi baru dalam penyebaran agama (Islam) yang lebih berpijak secara imbang antara normatifitas dan historisitas.

    2. Perlu visi yang jauh dan dinamis dalam hubungannya kita berrelasi dengan penganut agama lain. Penganut agama lain bukanlah musuh, tetapi seperti yang dikatakan Safii Maarif, adalah kakak-adik kita. Mereka adalah teman dalam menegakkan moral. Islam itu sendiri hakekatnya adalah moral. Aku diutus ke muka bumi hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq, demikian sabda nabi. Sebagai sesama penegak moral, maka musuh bersamanya adalah immoralitas, bukan perbedaan nominalitas agama.

    3. Sikap infantil dalam beragama hanya akan melecehkan agama itu sendiri. Perlu kematangan, pemikiran yang mendalam dalam pengembangan ajaran agama. One way approach sudah tidak bisa lagi dilakukan dalam abad milenium ini, satu-satunya pilihan lihatlah agama (Islam) dari berbagai sisi: multi dimentional approach.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar