Kamis, 19 November 2009

Di Balik Gaya Punk

Punk ternyata bukan hanya aliran musik yang dibawakan oleh sebagian besar anak muda di dunia ini. Adalah punk street atau yang biasa di sebut punk jalanan. Biasanya para punkers jenis ini berkelana dari satu kota ke kota yang lain di Indonesia. Tak jarang pula bahkan melewati batas pulau.

Seperti punkers street Sumatra yang melintas ke pulau Jawa. Atau bahkan sebaliknya. Berlatar usia yang berbeda-beda, juga suku-suku. Mereka tak hanya ”jalan-jalan” nggak jelas dari satu kota ke kota lain, namun juga menyerukan visi dan misi. Yakni menunjukan kepada pemerintah bahwa masih banyak rakyat yang menderita. Termasuk rakyat miskin yang seharusnya di pelihara oleh negara, namun justru semakin terlantar akibat pemerintah, dan ingin ikut merasakan penderitaan rakyat miskin yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah itu.

Bahkan terkadang mereka para punkers street ini mengais-ngais sampah untuk mengganjal perut mereka yang lapar. Mereka melakukan itu juga sebagai bentuk nyata protes terhadap pemerintah. Mereka melakukannya bahkan sengaja di tempat dimana para orang-orang yang di sebut wakil rakyat (entah rakyat yang mana) berdinas.

Dalam kehidupan bersosialisasi dengan sesama pungkers street, dimanapun berada, mereka menganut paham equality. Tidak ada pemimpin atau yang dipimpin. Tidak seperti yang banyak orang katakan, ada semacam pemimpin dalam kelompok mereka begitu. Misalnya ada pemimpin kelompok punk di daerah ini atau itu atau semacamnya. Kembali lagi pada asas equality yang mereka anut.

Tak hanya itu, jangan coba-coba menyamakan mereka dengan punkers lainnya (band atau yang hanya bergaya punk saja). Karena mereka benar-benar berbeda. Punkers street benar-benar berada dijalan untuk menyerukan visi dan misi mereka. Hal menarik lainnya, yang dapat diungkap dari mereka adalah, meskipun mereka tampak bergerombol dimana-mana, mereka sejatinya sendiri. Maksudnya adalah bahwa mereka datang dari tempat berbeda-beda yang tidak pernah mengenal satu sama lain sebelum mereka saling bertemu.

Pertemuan yang singkat itu (biasanya mereka bersama-sama sekitar empat sampai satu minggu sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan masing-masing) tidak hanya sebatas pertemuan yang hanya seperti itu saja. Di tempat lain dan di waktu yang berbeda bisa saja mereka kembali bertemu. Kalau sudah begini, maka hal-hal yang biasa kita sebut melow terjadi. Seperti bertemu lagi dengan saudara yang lama tidak bertemu, maka adegan saling merangkul hingga menangis pun bisa saja terjadi. Padahal bagi orang awam, mereka ini identik dengan hal-hal yang berbau anarki. Dan sangar begitu.

Perjalanan mereka menjadi punkers street pejuang persamaan ini tentu saja banyak mengalami rintangan, tidak hanya berawal dari sulitnya keluarga menerima keputusan mereka untuk menjadi punkers street yang identik dengan anak jalanan, kelaparan di jalan. Namun hingga seringkali berurusan dengan aparat Satpol PP. Seringkali mereka harus mendekam di penjara untuk beberapa hari.

Yang lebih miris lagi adalah kenyataan bahwa mereka yang dianggap anak jalanan liar ini, seringnya tak hanya mendekam di sel lalu diberi pengarahan agar ’kembali ke jalan yang benar’. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang harus menerima bogem mentah dari para aparat itu. Seperti menjadi sasaran empuk kemarahan mereka yang lapar juga kemungkinan karena hanya mendapat gaji kecil. Namun tentunya berbeda dengan nasib para atasan mereka yang punya kedudukan tinggi dalam strukturnya.

Lalu mereka, para punkers street ini akan kembali dikeluarkan dari sel begitu saja tanpa ada semacam rehab bagi mereka. Yang lebih konyol lagi adalah, entah pada hari-hari apa banyak dari mereka sering ditangkap dan tidak dimasukan ke dalam sel seperti biasanya, namun justru di ’buang’ ketempat lain yang jauh begitu saja dengan enaknya. Entah ini semacam ritual bagi para aparat Satpol PP untuk mencari muka, karena sudah dianggap menertibkan. Hingga bisa saja mendapat kenaikan gaji atau apa lah.

Namun inilah yang membuat mereka semakin benci kepada pemerintah, entah mungkin karena seringnya disamakan dengan anak jalanan lalu ditangkap, digebukin, lalu dimasukan ke dalam sel atau di tangkap lalu dibuang begitu saja atau justru karena pemerintah yang seenaknya saja. Tanpa prosedur yang jelas yang sudah tertulis di undang-undang, menangkapi mereka bak binatang buas yang harus di basmi begitu. Yang jelas sikap ketidaksukaan mereka pada pemerintah nampak jelas dengan aksi-aksi protes yang mereka lakukan, salah satunya mungkin dengan mengais sampah di depan kantor pemerintahan untuk menunjukan pada para wakil rakyat itu bahwa masih banyak rakyat menderita dan kelaparan, seperti yang saya sebut diatas.

Mungkin juga kebencian mereka terhadap pemerintah ini berawal dari penangkapan oleh aparat dengan strata rendah (yang sudah berulah seenaknya juga mungkin pikir mereka) hingga melihat kemiskinan dan akibat dari kemiskinan itu di Indonesia yang semakin menjadi oleh sebab pemerintah juga.

Bahkan aksi protes mereka terhadap pemerintah juga mereka tunjukan melalui atribut yang mereka kenakan. Baju, celana, hingga emblem yang mereka tempel di mana-mana (kaos, celana, bahkan sepatu). Mereka yang tidak pernah merasa di beri sesuatu dari pemerintah, namun justru pemerintah yang banyak mengambil dari mereka.

Sepertinya mencoba mengatakan bahwa mereka tidak butuh produk yang melambangkan kerakusan pemerintah. Mereka membuat emblem mereka sendiri, yang tentunya bergambar apa yang menjadi keyakinan mereka. Juga baju dan celana. Seperti tulisan-tulisan di baju mereka yang banyak mengecam kemapanan. Juga bentuk celana yang mereka kenakan. Yang kini malah menjadi trend baru dikalangan anak muda Indonesia.

Awalnya mereka ingin menciptakan produk mereka sendiri, yang berbeda dari orang lain, yang juga sebagai bentuk nyata protes terhadap kemapanan. Seperti celana yang mereka jahit sendiri, yang memiliki bentuk atau potongan yang berbeda dari celana-celana jeans yang merajai pasar. Juga gambar dan bentuk potongan kaos mereka.

Dan banyak sekali produk tiruan gaya a la mereka yang merambah luas dipasaran dan kalangan muda-mudi, kemudian membuat mereka sedih. Identitas mereka mungkin yang merasa di jiplak, tapi hanya menjiplak luarnya saja tanpa menjiplak dan turut mengamalkan apa yang mereka yakini juga terhadap perbedaan bentuk celana, baju, hingga gambar-gambar dan tulisan-tulisan pada emblem-emblem mereka ini.

Bahkan yang menjadi ketakutan mereka lagi adalah bahwa apa yang menjadi visi dan misi mereka ini akan dianggap angin lalu saja. Atau bahkan tidak akan dianggap sama sekali, dan mereka akan disamakan saja dengan anak-anak lain yang sedang mencari identitas diri atau para anak jalanan liar yang tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah dan bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Hingga apa yang mereka perjuangkan akan sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar